LIPUTAN NASYID LAMPION DI INDOPOST
Di
tengah menjamurnya sejumlah Grup Nasyid di tanah air. Terdapat kelompok nasyid
yang cukup unik lantaran semua personelnya berasal dari etnis Tionghoa muslim.
Lantunan syair pujian bernafaskan Islam lirih terdengar dari salah satu ruangan
di rumah yang berada di Jalan Raya Condet No. 54 Ruko Mat’am Ikhwan Lt.2,
Batuampar, Jakarta Timur. Di Ruko itu memang disulap sebagai kantor sekaligus
studio berlatihnya yang berada dibawah Lampion
Management.
Performanya
sedikit berbeda dari orang Indonesia umumnya. Karena sebagian besar dari mereka
adalah muslim yang berketurunan etnis Tionghoa. Matanya terlihat sedikit sipit.
Bentuk wajah pun khas oriental. Kesan mencolok dari ‘bukan’ orang Indonesia itu
terlihat dari busana yang dikenakannya. Mereka tak mengenakan pakaian nasyid
yang biasa, yakni baju koko muslim. Tapi berbusana mirip pendekar film-film
Tiongkok. ”Ini sedikit dari identitas kami, Grup Nasyid Lampion. Mengenakan
busana Shanghai,” ujar pentolan Grup Nasyid Lampion, Kelvin Ikhwan. Dia mengakui
sebagian besar personel Lampion adalah keturunan Tionghoa. Berdarah murni
bangsa China. Hanya saja lahir dan besar di Indonesia.
Tak
itu saja, Kelvin juga memastikan semua personelnya adalah muslim. Ada diantaranya
yang merupakan muallaf Ade namanya. Sedangkan lainnya muslim dari lingkungan
keluarga. ”Saya lahir dan besar di Jakarta. Orangtua dan keluarga muslim asli
Tionghoa,” jelas Kelvin juga. Grup Nasyid ini, terang dia juga, memang
berbasiskan para muallaf dan muslim Tionghoa. Dengan bekal itu namanya memilih
atribut yang berdekatan citra Tionghoa, yakni Lampion. Tak harus mengambil nama
berbau Islam.Tidaklah salah kalau mereka menamakan Grup Nasyid mereka dengan
sebutan nama Lampion. Tetapi lebih memilih nama kelompok berdekatan dengan
budaya. ”Kalau ingat lampion, pasti identik dengan komunitas China,” terang alumnus
Universitas Trisakti ini. Secara historis, dia mengaku terbentuknya Lampion
bukan sebagai peniruan terhadap tren musik. Tetapi lebih sebagai media kegiatan
para remaja muslim Tionghoa. Awalnya, tegas dia juga, kegiatan remaja muslim
Tionghoa ini bergabung di remaja Masjid Lau Tse. Namun secara perlahan
menempatkan kemandirian. Hingga terpisah dari kegiatan masjid. ”Dari sanalah
kami terus mengembangkan diri. Berusaha lebih baik tanpa terjebak dalam tren
musik Islam,” tegasnya. Hingga saat ini Grup Nasyid Lampion mempunyai slogan “Chinese
Moslem Nasheed”.
Meskipun,
Kelvin menuturkan pengalaman dan ilmu bernyanyi diperoleh dari kelompok nasyid
senior, Qatrunada. Dengan menggali segala potensi dan dorongan lingkungan.
”Lahirlah nama Lampion pada 10 Nopember 1997,” tegasnya. Pada pertengahan 2005,
kata Kelvin album perdana kelompok ini muncul. Dengan mengusung semangat ajaran
Islam, lagu-lagu bersyairkan nilai-nilai keislaman ditawarkan pada masyarakat.
”Kami membentuk Lampion bukan untuk popularitas atau glamor, tapi sebagai media
dakwah Islam terutama kepada etnis Tionghoa,” terangnya.
Ibarat
pohon pisang. Tak ingin mati sebelum berbuah. Itu yang tengah diperjuangkan Grup
Nasyid Lampion ini. Berupaya mempopulerkan nasyid kepada generasi muda sampai
akhir hayat. Seperti apa?
SEJAK
terbentuk sebagai Grup Nasyid, para anggotanya telah sadar dengan pelbagai
tantangan. Mulai dari persoalan ekonomi, cemooh sampai persoalan lainnya. Tapi
itu dianggap tak berarti. ”Semua yang kita lakukan ini adalah ibadah. Bukan
mencari popularitas atau ingin sekadar menjadi entertainer,” tegas Kelvin
Ikhwan Tanudjaja, pentolan Lampion. Bahkan, lanjut dia, sejak dulu pun grup
Lampion ini tak pernah memberikan bandrol tarif manggung. Biaya yang diberikan
dari para pengundang lebih dilihat sebagai rezeki. Tanpa perlu melihat
besarannya. Kelvin mengaku sering mendengarkan keluhan banyak warga. Terkait
keinginan mendapatkan hiburan islami dari Grup Nasyid selalu terbentur dengan
biaya. Sehingga sangat merugikan bagi umat Islam. ”Kalau mendengarkan lagu
nasyid itu terasa berbeda dengan lagu lain. Karena dalam lagu nasyid ada pesan
religinya. Berbeda dengan lagu lain,” tuturnya.
Dengan
lagu nasyid, dia merasa punya peluang banyak untuk memberikan dan turut
memperbaiki moral bangsa. Setidaknya mengingatkan manusia tentang kewajibannya
sebagai makhluk Tuhan. Menurutnya, banyak sekali catatan negatif yang terjadi
dalam dunia hiburan. Artis yang seharusnya memberikan kebahagian, justru dalam
banyak persoalan. ”Kenyataan itu kan berbeda sekali. Kalau mau menghibur orang,
hati yang menghibur harus senang. Bukan sebaliknya,” ucap alumnus Trisakti ini.
Dia memastikan nasyid bukanlah alternatif hiburan. Tapi tak lebih dari upaya
memberikan peringatan dan pesan moral. Tujuannya mengembalikan fitrah manusia.
Terkait persoalan manajemen, Kelvin menyebutkan grup Lampion sangat paham
kondisi tersebut. Makanya, perlu membuat terobosan kegiatan. Di antaranya
membuka pelbagai lembaga usaha. ”Di sini ada jasa multimedia, pelatihan
solo/grup nasyid untuk vokal, sanggar menggambar manga dan lainnya. Semua itu
menjadi pondasi ekonomi Lampion Management,” terangnya.
Tak
mudah menjadi konsisten dalam bermusik di tanah air. Apalagi jika berkaitan
dengan persoalan kebutuhan pasar. Bagaimana grup Lampion mempertahankan
kekhasannya itu? GAYA bermusik sering identik dengan idealisme dan rasa.
Pantasnya memang tak perlu berubah-ubah, jika gaya bermusik menjadi identitas.
Tapi desakan pasar mampu menyulap idealisme dan rasa itu. Grup Lampion pun tak
bisa mudah berjuang mempertahankan karakternya. Dengan gaya oriental plus
iramanya yang juga Tionghoa, kadang kala jadi hambatan. Apalagi penggemar musik
nasyid masih terbatas.
”Ya..kalau
ditanya soal karakter, inilah karakter kami. Tak mudah memang bertahan. Tapi
kami berusaha menjaganya,” terang Andrew Irfan Tanudjaja, anggota Lampion.
Menurutnya, kesulitan terasa dalam persoalan gaya musik oriental. Sebab belum
ada contoh musik nasyid yang berwarna Mandarin. Itu membuat pengembangan
polanya pun sedikit terbatas. Andrew menilai kesulitan itu menjadi tantangan
tersendiri bagi Lampion. Agar tetap bisa konsisten dalam warna bermusik.
Menjaga
pola musik oriental yang tidak ketinggalan zaman. ”Di kalangan generasi
Tionghoa di Indonesia, musik oriental tak begitu digemari. Apalagi jika
membawakan dalam nuansa Islam berpadu gaya oriental. Jelas tak mudah,” tutur
vokalis bertubuh besar ini. Apalagi, lanjut dia juga, terkadang ada kesulitan
dalam memainkan warna musik oriental dalam nuansa Islam. Karena perlu
menyesuaikan dengan liriknya. Belum lagi pola suaranya lebih khas, tidak
seperti bernyani dalam suara yang biasa. ”Bernyanyi dengan musik oriental itu
tak mudah. Sekarang kita coba padukan semua itu dalam karakter yang Islami.
Coba
bagaimana kesulitannya,” tegasnya. Kendati demikian, Andrew bersama rekan
lainnya selalu memiliki terobosan. Dengan memberikan sentuhan oriental dalam
sejumlah bait lagu. Personel Lampion memang sudah berulang kali bongkar pasang.
Alasannya sangat beragam. Namun setiap generasi baru Lampion selalu memiliki
karakter sama. Adapun personel Lampion anyar adalah Kelvin Ikhwan Tanudjaja,
Andrew Irfan Tanudjaja, Ade Yoliand dan Heri Adz-Dzakiy. Mereka selalu menampilkan
karakter Tionghoa dalam setiap penampilannya.